BangkaNews.id, Belitung -- Sesuai Undang - Undang (UU) Republik Indonesia. Peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 18 tahun 1999. Tentang pengolahan limbah, bahan berbahaya dan beracun.
Menimbang bahwa lingkungan hidup perlu dijaga kelestariannya sehingga tetap mampu menunjang pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Bahwa dengan meningkatnya pembangunan di segala bidang, khususnya pembangunan di bidang industri, semakin meningkat pula jumlah limbah yang dihasilkan termasuk yang berbahaya dan beracun yang dapat membahayakan lingkungan hidup dan kesehatan manusia.
Bahwa dengan diundangkannya UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu dilakukan penyesuaian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun; bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, dipandang menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 163 tentang Kesehatan Lingkungan : Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pantauan bangkanews Selasa (17/03/20). Salah satu pengusaha tempe diduga tidak mengolah limbahnya dengan baik. Bila dibiarkan terus menerus, tentunya bisa mengancam kesehatan manusia, mahluk hidup dan tumbuhan di sekitar nya.
Jelas UU tersebut terkadang di anggap angin lewat belaka. Pantau bangkanews dihimpun dari beberapa laporan warga setempat, produksi usaha tempe di jalan Melati Pilang, Desa Pilang, Rt 007, Rw 002. Kini berhari-hari mengeluarkan aroma yg tidak mengenakan alias bau yang menyengat hingga kerumah-rumah warga.
Salah satu warga setempat yang tak ingin disebut namanya itu mengatakan, olahan limbah kacang kedelai yang dijadikan tempe itu bau limbahnya itu busuk," ungkapnya.
"Ia juga mengatakan Limbah tersebut sengaja mereka aliri di belakang rumah (pemilik tempe) yang memang di belakang rumahnya masih hutan, kalaw gak salah itu malahan kebun orang, lama kelamaan, air limbah mengendap dan bergelimang, ini lah yang akhirnya menyebabkan bau yg tak sedap itu," pungkasnya kepada media, Selasa (17/03/20).
"Selain itu sempat dikonfrmasi oleh wartawan BangkaNews ke ketua RT setempat RT. 007 RW. 002 menurut pak RT dia sudah pernah menegur kepada pengusaha tempe tersebut dan memberikan himbauan kepada pengusaha tempe tersebut agar sisa pembuangannya itu kalau bisa tidak menimbulkan bau.
Saat di temui wartawan bangkanews, salah satu warga mengungkapkan, pernah melihat limbah tersebut dibuang di aliran air, daerah Aik Paser yang masih di daerah lingkup sekitaran pilang,
"Saya juga pernah melihat limbahnya sengaja di buang di aliran sungai kecil kalo orang bilang Aik Paser, padahal alirannya sungai tersebut mengalir ke bakau pilang," katanya.
Di jumpai di lokasi selasa 17/ 03 /2020 diminta keterangan ke salah satu pekerja yang tak mau mengatakan namanya itu juga mengakui limbah olahan tempe setiap dua hari sekali di buang menggunakan mobil dan tangki pingguin berukuran besar.
"Kalo sudah banyak yah dibuang menggunakan mobil, dua hari sekalilah. Lalu di buang ke sungai komplek, yang mengalir ke jeramba Pilang," pungkasnya. (Red)
Komentar Anda